Dana Desa: Pilar Kesejahteraan dari Pinggiran – Harapan Besar di Tengah Tantangan Nyata

KLIK24.NEWS Kotamobagu — Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kebijakan Dana Desa telah menjadi tonggak transformasi dalam pembangunan Indonesia dari tingkat akar rumput. Pemerintah pusat mentransfer lebih dari Rp600 triliun langsung ke rekening desa-desa di seluruh Nusantara. Namun di balik angkanya yang fantastis, masih tersimpan tantangan besar dalam tata kelola, partisipasi warga, hingga keberlanjutan dampaknya.

BACA JUGA : Grand Final Meriah! Walikota Hadiri Penutupan Kapolres Cup: Sinergi Forkopimda dan Semangat Bhayangkara Mewarnai Lapangan Voli

Di banyak wilayah, Dana Desa terbukti mampu mengubah wajah desa secara nyata. Contohnya Kampung Warmon Kokoda di Kabupaten Sorong yang berhasil memperbaiki akses pendidikan dan kesehatan berkat prinsip transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan dana. Hal serupa juga terjadi di Desa Penanae (Kota Bima), Desa Sidomulyo (Deli Serdang), dan Desa Setuta (Lombok Tengah), yang menunjukkan peningkatan signifikan pada indikator kesejahteraan warga.

Dana Desa di Bolaang Mongondow Raya: Realisasi Rp200 Miliar Lebih

Wilayah Bolaang Mongondow Raya (BMR), Sulawesi Utara, juga menjadi bagian dari skema besar Dana Desa ini. Pada tahun anggaran 2025, total pagu Dana Desa di BMR mencapai Rp361,57 miliar untuk 483 desa. Hingga 16 Juni 2025, dana yang telah disalurkan sebesar Rp200,36 miliar atau 55,41% dari total pagu. Berikut distribusi berdasarkan kabupaten/kota:

  • Kab. Bolaang Mongondow: Rp152,56 M (realisasi 55,64%)
  • Kab. Bolaang Mongondow Utara: Rp76,19 M (realisasi 53,38%)
  • Kab. Bolaang Mongondow Selatan: Rp59,85 M (realisasi 55,66%)
  • Kab. Bolaang Mongondow Timur: Rp59,96 M (realisasi 55,19%)
  • Kota Kotamobagu: Rp13,02 M (realisasi 60%)

Tahap I telah disalurkan ke seluruh desa, sementara Tahap II baru dilakukan pada 6 desa yang telah memenuhi persyaratan administratif.

Di tengah keberhasilan itu, beberapa masalah klasik belum teratasi. Transparansi dan akuntabilitas masih menjadi sorotan utama. Beberapa desa masih belum menyajikan informasi anggaran secara terbuka. Laporan administrasi kerap tidak mencerminkan realisasi fisik, dan partisipasi warga dalam pengawasan sering hanya formalitas.

Lebih jauh, kapasitas perangkat desa yang belum merata kerap menghambat perencanaan berbasis kebutuhan riil masyarakat. Menurut studi Heavenly et al. (2024), lemahnya pemahaman teknis dapat membuka peluang penyimpangan, baik karena ketidaktahuan maupun karena kelalaian yang disengaja.

Masih banyak desa yang terjebak dalam proyek pembangunan fisik semata: membangun jalan, drainase, atau posyandu tanpa strategi pemberdayaan berkelanjutan. Sering kali, gedung serbaguna kosong melompong tanpa aktivitas produktif atau alat pertanian mubazir karena minim pelatihan.

Padahal, potensi Dana Desa untuk penguatan ekonomi lokal sangat besar. Studi Ningsih dan Zaidi (2024) menunjukkan bahwa alokasi untuk UMKM, pelatihan, dan pembentukan BUMDes mampu meningkatkan pendapatan warga dan menciptakan lapangan kerja baru.

Solusi terhadap tantangan ini menuntut intervensi sistemik dan terstruktur. Pemerintah pusat dan daerah didorong untuk memperkuat pembinaan teknis, digitalisasi tata kelola, dan pengawasan berbasis teknologi informasi. Pelatihan aparatur desa secara rutin harus mencakup pemahaman manajemen, akuntansi, hingga literasi digital.

BACA JUGA : Empat Siswa Berprestasi Sambangi Wali Kota: Satu Siap Harumkan Nama Kotamobagu di Seleksi Paskibraka Nasional

Partisipasi warga juga menjadi kunci. Pendidikan anggaran, forum advokasi desa, serta keterlibatan LSM dan perguruan tinggi perlu digalakkan. Media massa lokal dapat berperan sebagai jembatan kontrol sosial, sekaligus memperluas pemahaman masyarakat soal hak dan tanggung jawab dalam pembangunan.

Lebih dari sekadar bantuan fiskal, Dana Desa adalah simbol kepercayaan negara kepada desa. Ketika dikelola dengan baik, dana ini akan menjadi mesin perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Ia menjembatani kesenjangan, memperkuat kemandirian, dan mendorong pembangunan dari pinggiran.

Sebaliknya, jika disalahgunakan, Dana Desa berisiko menjadi alat reproduksi ketimpangan, memperkuat oligarki desa, dan menjauhkan rakyat dari cita-cita kesejahteraan.

Dana Desa adalah alat transformasi, bukan sekadar instrumen belanja. Untuk menjadikannya fondasi Indonesia maju dari pinggiran, fokus perbaikan harus diarahkan pada tiga hal:

  1. Peningkatan kapasitas SDM desa
  2. Penguatan partisipasi warga
  3. Digitalisasi transparansi dan efisiensi

Jika dijalankan secara konsisten, Dana Desa akan terus menjadi transfer harapan—mewujudkan impian tentang desa yang tidak hanya membangun, tetapi juga tumbuh dan mandiri.***

Penulis: Hardianto

Tinggalkan Balasan