Klik24.News Cerpen – Di sebuah negeri yang dahulu makmur dan damai, berdirilah sebuah kerajaan bernama Almarit. Rakyatnya hidup dengan penuh syukur di bawah kepemimpinan Raja Salman al-Haq, seorang pemimpin bijak yang dikenal karena keadilannya. Namun semua berubah ketika kekuasaan beralih ke tangan anaknya, Raja Zulkarnaen, yang dikenal rakus, pemarah, dan berhati beku.
Awal Kezaliman
Raja Zulkarnaen naik tahta setelah kematian ayahandanya yang mendadak. Tak butuh waktu lama, ia mulai memperlihatkan watak aslinya. Pajak dinaikkan dua kali lipat, tanah rakyat dirampas dengan dalih pembangunan istana megah, dan siapa pun yang berani mengkritik langsung dijebloskan ke penjara bawah tanah.
“Negeri ini milikku! Rakyat hanya pelengkap agar aku terlihat agung,” katanya suatu malam saat rapat istana. Para menteri hanya menunduk, takut kepala mereka ikut dipenggal.
Jeritan Rakyat
Hidup rakyat menjadi gelap. Pasar sepi, petani tak lagi mampu menanam karena sawah mereka berubah jadi taman kerajaan. Di desa paling terpencil, seorang pemuda bernama Rafi menulis puisi-puisi yang menyindir keserakahan raja. Diam-diam, puisi itu disalin dan disebarkan dari tangan ke tangan.
Salah satu baitnya berbunyi:
“Tak akan lama singgasana tinggi,
Jika derita jadi dasar berdiri.”
Puisi itu sampai juga ke telinga raja. Marah, Zulkarnaen memerintahkan prajuritnya mencari siapa penulisnya. Tapi puisi itu sudah menjadi suara rakyat. Tak seorang pun mau membuka mulut.
BACA JUGA : Jenazah Cardo Berhasil Ditemukan, Tigau; Terima Kasih Semua Pihak Yang Membantu Pencarian
Kutukan Tahta
Suatu malam, Raja Zulkarnaen bermimpi. Ia berada di tengah kota yang kosong, mendengar suara tangis dari segala arah. Dari dalam istananya yang megah, tiba-tiba muncul sosok ayahandanya, Raja Salman.
“Anakku,” kata arwah sang raja, “kau telah mengkhianati darah dan pengorbanan yang membangun negeri ini. Kekuasaan bukanlah tongkat pemukul, tapi pelindung bagi yang lemah.”
Raja Zulkarnaen terbangun dengan tubuh dingin. Tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan. Ia malah memerintahkan agar lebih banyak desa dibumihanguskan demi proyek ‘Kemegahan Almarit’.
Amarah Alam dan Rakyat
Musim kemarau datang lebih panjang dari biasa. Sungai-sungai mengering. Gudang kerajaan penuh makanan, sementara rakyat kelaparan. Satu per satu rakyat mati, bukan karena perang, tapi karena ketidakadilan.
Rakyat pun bangkit. Dipimpin oleh para mantan prajurit dan tokoh desa, mereka menyerbu istana. Di tengah kobaran api yang melahap tirani, Raja Zulkarnaen berusaha melarikan diri lewat lorong rahasia. Namun langkahnya terhenti oleh bayangan seorang pemuda—Rafi.
“Aku tidak membunuhmu,” ujar Rafi tenang. “Biarlah sejarah yang melakukannya.”
Zulkarnaen ditangkap dan diadili di depan rakyatnya. Ia tidak dihukum mati, tetapi diasingkan ke tempat paling terpencil di negeri itu—bekas desa yang pernah ia hancurkan.
BACA JUGA : Wakil Wali Kota Kotamobagu Ikuti Peluncuran Logo dan Tema HUT ke-80 RI oleh Presiden Prabowo Secara Daring
Akhir dari Kezaliman
Tahun-tahun berlalu. Negeri Almarit perlahan bangkit kembali di bawah pemimpin baru yang lahir dari kalangan rakyat. Nama Raja Zulkarnaen hanya tinggal catatan hitam dalam sejarah, dikenang bukan karena kejayaannya, tetapi karena penderitaan yang ditinggalkannya.
Dan di tengah alun-alun kota, terpahat kalimat dari puisi Rafi:
“Pemimpin boleh dilupakan,
Tapi luka rakyat akan selalu berbicara.”
Pesan Cerpen:
Kekuasaan tanpa keadilan hanya melahirkan kutukan. Pemimpin yang menindas akan dikenang, bukan karena kekuasaannya, tapi karena luka yang ia tinggalkan. (DNL)***


















