KLIK24.NEWS Sumatera – Banjir yang melanda Sumatera bukan sekadar peristiwa alam; ia adalah dialog sunyi antara bumi dan manusia.
Di balik air bah yang menelan rumah dan nyawa, tersembunyi pertanyaan besar tentang hakikat kekuasaan, keserakahan, dan balasan alami yang tak pernah lupa mencatat jejak manusia.
Alam Tidak Pernah Membenci, Tetapi Selalu Mengingat
Filosofi kuno mengatakan:
“Alam adalah kitab pertama yang diturunkan Tuhan.”
Sebelum manusia menulis ayat di kertas, alam sudah lebih dahulu menulis peringatan di tanah, di pepohonan, dan di aliran sungai.
Ketika hutan ditebang, sungai tak lagi mengenal sabar.
Ketika bukit digali, bumi tak lagi menahan amarah.
Banjir bukan murka.
Banjir adalah refleksi balik, cermin besar tempat manusia melihat akibat dari tangan-tangan yang tak memikirkan masa depan.
Keserakahan yang Dibungkus Kebijakan
Dalam sunyi malam, kebijakan gelap lahir.
Di atas meja-meja rapat yang dihiasi lampu terang, keputusan dibuat tanpa mendengarkan suara hutan yang tercekik.
Para penguasa lupa bahwa:
“Setiap pohon yang tumbang adalah satu nafas yang hilang bagi alam.”
Mereka menulis izin di atas kertas, sementara alam menulis akibat di atas tubuh manusia.
Pundi-pundi ekonomi memang bertambah.
Namun nilai hidup manusia—yang hilang—tak ada satu pun kebijakan mampu menggantinya.
Sungai Hanya Pulang ke Jalannya
Sungai yang meluap itu sebenarnya tidak menyerang siapa pun.
Ia hanya kembali ke jalur yang dulu pernah menjadi miliknya sebelum manusia menutupinya dengan beton, rumah, dan ambisi.
Air tidak memiliki niat jahat.
Manusialah yang menempatkan dirinya di jalur air.
“Kesalahan manusia dianggap bencana alam,
padahal bencana alam sering adalah bahasa alam untuk kesalahan manusia.”
Nyawa-Nyawa Tak Bersalah dan Kebenaran yang Terlambat
Ketika banjir datang dan nyawa-nyawa tak bersalah terenggut, manusia baru sadar bahwa harga paling mahal dalam hidup bukan rumah, fasilitas, atau materi—tetapi kewajaran yang telah dirusak oleh kekuasaan.
Anak-anak yang hilang, orang tua yang tenggelam dalam lumpur, dan keluarga yang kehilangan tempat tinggal bukan korban hujan…
melainkan korban ketidakpedulian.
BACA JUGA : Ziarah Pejuang Warnai Peringatan Hari Juang TNI AD 2025 di Kotamobagu
Hikmah Terbesar: Alam dan Kekuasaan Tidak Pernah Seimbang
Dalam filsafat alam, ada satu hukum yang tidak bisa ditawar:
“Siapa yang merusak keseimbangan, akan ditarik kembali ke dalam keseimbangan itu—dengan cara apa pun.”
Pemerintah mungkin bisa menandatangani izin, tapi tidak pernah bisa menandatangani ulang hukum alam.
Penguasa mungkin bisa mengatur manusia, tapi tidak bisa mengatur bagaimana bumi harus bereaksi.
Dan ketika alam menjawab, jawabannya tidak pernah lembut.
Saat Air Menjadi Guru
Banjir ini bukan sekadar musibah.
Ia adalah guru, mengajarkan:
-
bahwa manusia terlalu sering lupa pada batasnya,
-
bahwa kekuasaan tanpa nurani adalah awal kehancuran,
-
bahwa alam tidak bisa disuap dengan pundi-pundi,
-
dan bahwa hutan adalah ruh bumi—hilangkan ia, hilanglah kehidupan.
Sumatera kini bukan hanya basah oleh air, tetapi juga oleh kesadaran bahwa setiap keputusan yang diambil demi keuntungan jangka pendek akan menjadi beban yang harus dibayar oleh generasi tak bersalah. (DN)***


















