Pemusnahan Bir Tuai Apresiasi, Mengapa Pabrik Tak Ditutup? Ini Penjelasan Resmi Pemkot Kotamobagu

KLIK24.NEWS Kotamobagu — Pemusnahan minuman beralkohol (minol) jenis bir oleh jaksa eksekusi di Kota Kotamobagu menuai apresiasi luas dari masyarakat. Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk ketegasan aparat dalam menjaga ketertiban umum dan melindungi masyarakat dari dampak negatif peredaran minuman beralkohol. Namun di balik dukungan itu, muncul pula pertanyaan publik: mengapa pabrik bir tidak ditutup, sementara produknya justru dimusnahkan di daerah?

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Perdagangan Kota Kotamobagu, Aryono Potabuga, menjelaskan bahwa minuman bir bukan barang ilegal secara mutlak. Negara mengatur dan melegalkan produksi minuman beralkohol melalui mekanisme perizinan resmi dan perpajakan.

“Minuman bir ini diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan. Selain itu, bir juga dikenakan PPN dan pajak daerah tertentu. Pabrik yang memproduksi bir memiliki izin resmi dari Pemerintah Pusat, sehingga secara hukum pabrik tersebut legal dan tidak dapat serta-merta ditutup,” jelas Aryono.

Meski demikian, Aryono menegaskan bahwa legalitas tersebut bersifat terbatas dan bersyarat. Negara hanya memperbolehkan peredaran minuman beralkohol apabila seluruh ketentuan perizinan dipenuhi secara berjenjang, mulai dari produksi, distribusi, hingga penjualan di tingkat daerah.

Hal senada disampaikan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Kotamobagu, Sahaya Mokoginta. Ia menegaskan bahwa persoalan utama di daerah bukan pada aktivitas produksi pabrik, melainkan pada peredaran dan penjualan minuman beralkohol yang tidak mengantongi izin resmi dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

Adapun ketentuan yang wajib dipenuhi agar peredaran minuman bir dinyatakan legal oleh negara, antara lain:

  1. Perizinan lengkap di setiap mata rantai usaha, meliputi:
    • Izin produksi bagi pabrik;
    • Izin distribusi bagi distributor;
    • Izin penjualan minuman beralkohol bagi penjual.

    Di Kota Kotamobagu, penjual minuman beralkohol tidak memiliki izin resmi dari kementerian terkait, sehingga peredarannya dinyatakan melanggar hukum.

  2. Pembatasan usia konsumen, di mana penjualan hanya diperbolehkan kepada konsumen dewasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pengaturan tempat dan waktu penjualan, di mana minuman beralkohol tidak boleh dijual bebas, melainkan hanya pada lokasi dan waktu tertentu yang telah ditetapkan.

“Tiga ketentuan tersebut tidak dipenuhi oleh penjual di Kota Kotamobagu. Oleh karena itu, aparat berwenang melakukan penyitaan dan pemusnahan barang, meskipun pabrik yang memproduksi tetap beroperasi secara legal,” tegas Sahaya Mokoginta.

Pada prinsipnya, penjualan minuman beralkohol adalah dilarang, kecuali mendapat pengecualian melalui izin resmi dari Kementerian Perdagangan. Tanpa izin tersebut, setiap bentuk penjualan minuman beralkohol di daerah dinyatakan ilegal dan wajib ditindak.

Dengan demikian, pemusnahan bir di Kota Kotamobagu tidak dapat dimaknai sebagai pembiaran terhadap pabrik yang tetap berproduksi. Perbedaan perlakuan hukum tersebut terjadi karena objek penindakan berada pada mata rantai yang berbeda. Pabrik tetap beroperasi karena memiliki izin produksi resmi dari Pemerintah Pusat dan berada di luar kewenangan pemerintah daerah. Sebaliknya, ketika produk tersebut diedarkan dan dijual di daerah tanpa izin yang dipersyaratkan, pemerintah daerah wajib melakukan penyitaan dan pemusnahan.

Kebijakan ini menegaskan bahwa legalitas produksi tidak otomatis melegalkan peredaran di daerah. Produksi, distribusi, dan penjualan merupakan tahapan hukum yang berdiri sendiri. Ketika pelanggaran terjadi di tingkat lokal, maka penegakan hukum dilakukan pada titik tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum, ketertiban umum, dan kepentingan masyarakat.***

.

Tinggalkan Balasan