Manado  

“Tuhan Tempat Aku Berteduh” Penulis Efraim M Lengkong

Klik24.News Sulut,– Gelombang atas demonstrasi yang bermula pada 28 Agustus 2025 di Jakarta dan menjalar ke Makassar, Yogyakarta, hingga berujung pada kericuhan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara pada 1 September 2025.

Seolah mengantar berpulangnya Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, yang lebih dikenal sebagai Acil Bimbo, ke pangkuan Tuhan Senin malam, 1 September 2025, pukul 22.13 WIB di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung dalam usia 82 tahun.

Menghilangnya Bimbo bersama suara bariton khasnya, yang  menyentuh dan mengingatkan bahkan ada juga yang sadar dan bertaubat. Diiringi  redupnya suara aspirasi rakyat ditelan “water canon” dan “gas air mata” diiringi lindasan dari kendaraan taktis “Barracuda”.

“Tuhan,…tempat aku berteduh, Di mana aku mengeluh… Dengan segala peluh…”
“Aku jauh, Engkau jauh_Aku dekat, Engkau dekat…Hati adalah cermin…Tempat pahala dosa bertaruh”.

Gelombang demonstrasi yang bermula pada 28 Agustus 2025 di Jakarta dan menjalar ke Makassar, Yogyakarta, hingga berujung pada kericuhan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara pada 1 September 2025 , bukan sekadar peristiwa politik jalanan. Sebelas nyawa melayang, termasuk Affan Kurniawan (21), pengemudi ojol yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat mengantarkan makanan.

BACA JUGA : Syukuran HUT Polwan ke-77, Kapolres Kotamobagu Harapkan Polwan Kian Profesional dan Humanis

Kejadian ini merupakan “krisis epistemik” dimana kebenaran publik dibungkam oleh narasi kekuasaan yang kalut. Kepercayaan publik hancur bukan karena rakyat tidak tahu, tetapi karena mereka terlalu banyak tahu, bagaimana hancurnya pilar hukum, agama dan pendidikan. Pengetahuan itu dianggap berbahaya.

Prof. Dr. F. Budi Hardiman dalam buku Kebenaran dan Para Kritikusnya (2023), menyebut bahwa “jika kritis membaca hiperbolisme (ketika kekuasaan membesar-besarkan ancaman dari rakyat, seolah demonstrasi adalah awal dari kehancuran negara) dan reduksionisme kebenaran,” maka kita akan mampu membongkar anarki epistemik yang diselundupkan oleh kekuasaan.

Penerapan strategi espitemik untuk mengaburkan sumber kebenaran yang sah dari suara rakyat. Keberadaan pendemo yang telanjang dan polos dihujani gas air mata, barikade aparat, dan dilengkapi narasi media yang menyebut demonstran sebagai perusuh. Dekonstruksi terhadap tindak kekuasaan ini menunjukkan bahwa “tertib politik” hanyalah simbol kosong yang dipakai untuk melegitimasi represi.

Dalam konteks demo nasional ini, kekerasan struktural hadir dalam bentuk pembungkaman aspirasi, pengabaian tuntutan buruh, dan kriminalisasi mahasiswa yang mencoba membawa keluhan suka nestapa rakyat akibat dari hancurnya pilar hukum

Ketika rakyat turun ke jalan, mereka tidak hanya membawa poster, tetapi juga membawa kebenaran yang telah lama ditolak oleh sistem. Namun, kekuasaan merespons dengan anarki epistemik: menciptakan kebingungan, menebar ketakutan, dan mengaburkan siapa sebenarnya yang merusak ketertiban.

Anarki epistemik bukanlah kekacauan intelektual semata, melainkan strategi politik untuk menggeser pusat kebenaran dari rakyat ke negara. Ia menyusup ke dalam setiap aksi, setiap liputan, setiap pernyataan resmi, demi mempertahankan narasi tunggal yang menguntungkan kekuasaan.

BACA JUGA : Kejari Kotamobagu Gelar Upacara Hari Lahir Kejaksaan ke-80: Kajari Saptono Tegaskan Komitmen Wujudkan Kejaksaan Modern dan Humanis

Demo yang berujung rusuh bukanlah kegagalan rakyat, tetapi kegagalan negara dalam mendengar. Ketika doa di DPRD Sulut berubah menjadi gas air mata, kita menyaksikan bagaimana simbol spiritual pun bisa dikomodifikasi oleh kekuasaan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang benar, tetapi siapa yang berani mempertahankan kebenaran di tengah anarki epistemik. Dan jawabannya, seperti yang selalu datang dari jalanan, adalah: rakyat.

Mereka yang berdiri di bawah panas, di tengah asap, di antara barikade, bukan untuk merusak, tetapi untuk mengingatkan bahwa kebenaran tidak bisa dimonopoli. Dalam dunia yang dipenuhi reduksionisme dan hiperbolisme, tugas kita adalah menjadi pembaca yang kritis, penafsir yang jujur, dan saksi yang berani.

Karena jika kita diam, maka anarki epistemik akan terus menyusup, dan kebenaran publik akan terus dikorbankan di altar kekuasaan yang tak mengenal malu. (Jhon.W/Anjas).

Tinggalkan Balasan