KLIK24.NEWS Warna – Pendakian terakhir Norman Edwin dan Didiek Samsu ke Gunung Aconcagua, puncak tertinggi di Amerika Selatan, akan selamanya dikenang sebagai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah pendakian gunung Indonesia. Mereka telah mencapai ketinggian yang mengesankan, tetapi badai salju yang mengamuk di puncak Aconcagua menyebabkan kehilangan yang tak tergantikan.
Pendakian epik ini dimulai dengan semangat petualangan yang menyala-nyala. Norman Edwin dan Didiek Samsu, dua pendaki berpengalaman dari Indonesia, memimpin ekspedisi mereka ke puncak yang menantang ini pada awal tahun 1992. Mereka membawa harapan, tekad, dan cita-cita untuk mencapai puncak tertinggi Aconcagua.
BACA JUGA : Jadi Role Model, Bupati Bolmut Sudah Lapor SPT
Empat hari yang mengubah segalanya terjadi ketika mereka berjuang melawan kondisi ekstrem di puncak. Di ketinggian 6.650 meter, hanya sekitar 300 meter dari puncak Aconcagua, Norman Edwin ditemukan dalam posisi masih mendaki. Di tangannya, ia memegang erat kapak es, dan di punggungnya, ransel merah dengan bendera Mapala UI yang akan dikibarkannya di puncak.
Namun, dalam kondisi yang sangat sulit dan cuaca yang sangat buruk, Norman tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dia mencoba bertahan sampai napas terakhirnya, tetapi alam telah memutuskan jalannya. Norman Edwin, pendaki berusia 37 tahun yang penuh semangat, telah meninggalkan dunia ini dalam upaya untuk menaklukkan puncak Aconcagua.
Berita kematian Norman Edwin mencapai Posko Musibah Aconcagua di Jakarta pada Selasa, 3 April 1992. Berita itu disampaikan melalui teleks oleh seorang pegawai Departemen Luar Negeri. Ketika Adi Seno, anggota senior Mapala UI yang menginap di Posko, menerima berita tersebut, dia tidak dapat menahan air mata. Semua orang di Posko mengerti bahwa Norman telah mencapai puncak tertinggi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
BACA JUGA : KPP Kotamobagu Gelar Sosialisasi SPT Unifikasi Kepada Bendaharawan Satker Se-Bolmong
Selama empat hari di puncak Aconcagua, Norman dan Didiek berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sangat keras. Cuaca buruk dan badai salju yang tak terduga menghantam mereka. Awalnya, tim ekspedisi merasa khawatir ketika tidak menerima kabar dari Norman dan Didiek selama tiga hari. Namun, pada tanggal 24 Maret, kepastian datang melalui informasi dari Carlos Tenjerina, seorang pendaki profesional di Hotel Plaza de Mulas. Didiek ditemukan meninggal di Refugio Independencia pada ketinggian 6.400 meter.
Berita ini mengakhiri perdebatan yang telah membelah tim ekspedisi selama hampir dua minggu. Harapan untuk menemukan Norman hidup kini sirna. Meskipun Norman selalu lolos dari bahaya dalam perjalanan sebelumnya, kali ini alam telah memutuskan jalannya yang berakhir di puncak Aconcagua, menjadikannya pahlawan di antara para pendaki dan pendakian legendaris yang akan dikenang selamanya.***