Analisis Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Ranah Praperadilan Terhadap Uji Materi Undang-Undang Perpajakan

KLIK24.NEWS Jakarta – Seiring berlangsungnya uji materi Undang-Undang Perpajakan di Mahkamah Konstitusi (MK), fokus pada pemeriksaan bukti permulaan (pembukper) menjadi pusat perhatian. Uji materi ini terutama berkaitan dengan Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang beberapa kali mengalami perubahan terakhir melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Permohonan uji materi ini mengajukan pertanyaan kritis terkait dua aspek utama. Pertama, apakah pembukper yang dilakukan sebelum penyidikan dapat menjadi objek praperadilan di Pengadilan Negeri. Kedua, apakah tata cara pembukper yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hanya berfokus pada aspek teknis-administratif, tanpa adanya pembatasan atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.

BACA JUGA : Terkait Polemik Perizinan Eks Gedung Palapa, Ini Penjelasan Kepala DPMPTSP Kotamobagu

Sebelum menjelaskan argumen dalam permohonan uji materi, perlu memahami konsep pembukper. Menurut Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Akt., dalam bukunya “Pemeriksaan, Investigasi, dan Penyidikan Pajak,” pembukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan mengenai dugaan tindak pidana di bidang perpajakan. Tujuannya adalah agar dapat dibuat laporan kejadian dan memulai tindakan penyidikan.

Pembukper sendiri diatur dalam PMK Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (PMK-177). Meskipun bukan yang pertama kali mengatur pembukper, PMK-177 menjadi pusat perdebatan dalam konteks praperadilan.

Pendukung praperadilan terkait pembukper berpendapat bahwa pembukper sebelum penyidikan dapat menjadi objek praperadilan, sejalan dengan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, putusan Mahkamah Agung nomor 46/P.PTS/X/2023/25P/HUM/2023 menegaskan bahwa Pasal 77 KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terkait pembukper.

BACA JUGA : Penertiban Eks Gedung Palapa di Kotamobagu Sesuai Prosedur, Pemkot Kotamobagu Ambil Langkah Tegas

Sementara terdapat beberapa putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan praperadilan terkait pembukper, Mahkamah Agung menyatakan bahwa pembukper bukanlah tahap penyidikan yang dapat dilakukan dengan upaya paksa penggeledahan dan penyitaan. Ini ditegaskan dalam PMK-177, yang memberikan kewenangan Pemeriksa untuk melakukan tindakan pembukper setelah mendapatkan persetujuan atau izin dari Wajib Pajak.

Pentingnya pembukper sebagai langkah awal dalam menangani dugaan tindak pidana perpajakan juga ditekankan oleh Hakim MA, Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum., yang menyatakan bahwa pembukper bukan objek praperadilan. Hal ini mengacu pada pemahaman bahwa tahap penyelesaian tindak pidana perpajakan melibatkan bukti permulaan yang diperoleh melalui pembukper, dengan tujuan menciptakan keadilan, kepastian, dan manfaat.

Dalam konteks regulasi, PMK-177 dianggap sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 43A ayat (4) UU KUP. Meskipun menjadi sorotan dalam uji materi, Mahkamah Agung menegaskan bahwa penerbitan PMK-177 sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan dan mendukung tujuan hukum.

Dengan perdebatan intens mengenai pembukper dan praperadilan, uji materi ini memberikan pelajaran penting bagi masyarakat terkait peran dan pemahaman mengenai perpajakan. Seiring dengan reformasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penegasan keabsahan PMK-177 diharapkan dapat memperkuat DJP sebagai lembaga yang kuat, kredibel, dan akuntabel dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

https://pajak.go.id/id/artikel/pemeriksaan-bukti-permulaan-bukan-objek-praperadilan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *